Rabu, 24 Maret 2010

Proses Sosial Spesifik Anak Autistik

Kanner (1943) telah mendeskripsikan sindrom autistic pada masa kanak – kanak. Anak autistik memiliki minat yang sangat terbatas pada lingkungan social dimana mereka lebih tertarik dengan benda – benda mati dilingkungannya. Mereka mungkin tidak mengenali orang tuanya, tetapim mereka lebih menyukai memperhatikan barang – barang yang disusun dalam ruangan. Kanner menyatakan bahwa disfungsi social dan respon yang tidak biasa menjadi dua cirri esensial dari sindrom ini.

Anak autistik mungkin sangat tertarik untuk berinteraksi social, tetapai gaya interaksinya aneh dan eksenterik dan memiliki kapasitas untuk memahami interaksi social atau mengantisipasi pernyataan emosional orang lain secara terbatas, tujuan dan motivasi untuk membuat hal itu sangat sulit untuk brnegosiasi dalam suasan onterksi social.

Anak – anak autistic menunjukan ketidak mampuan dalam memproses aspek social yang komplek. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang gaze, JA, imitation, dan bermain pada anak – anak autistik.

Sumber :

Joko, Yuwono. 2009. Memahami Anak Autistik. Bandung : Alfabeta

Perkembangan Komunikasi Anak Autistik

Perkembanagan komunikasi anak autistic dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu kemampuan untuk berinteraksi, cara anak berkomunikasi, alas an dibalik komunikasi yang dilakukan anak dan tingkat pemahaman anak. Selanjutnya Susssman menuliskan bahwa perkemangan berkomunikasi anak autistik berkembang melalui empat tahapan :

a. The Own Agenda Stage. Pada tahap ini anak cendrung bermain sendiri dan tampak tidak tertarik pada orang – orang sekita. Anak belum memahami bahwa dengan komunikasi dapat mempengaruhi orang lain. Uuntuk mengetahi keionginannya kita dapat memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.

b. The Requester Stage. Pada tahapan ini anak autistik sudah menyadari bahwa prilakunya dapat mempengaruhi orang lain. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan dan mengarah kebenda yang di inginkannya. Aktifitas yang disukainya biasanya masih bersifat fisik seperti : bergulat, ciluk ba, lari, lompat dan sebagainya.

c. The Early Communication Stage. Pada tahapan ini kemampuan anak autistik dalam berkomunikasi lebih baik karena melibatkan gesture, suara dan gambar. Ia dapat berinteraksi cukup lama dan dapat menggunakan satu bentuk komunikasi mesti dalam situasi khusus. Tetapi inisiatif anak untuk berkomunikasi sangat terbatas.

d. The Partner Stage. Pada tahapan ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicaranya baik, maka ia berkemungkinan dapat melakukan percakapan sederhana. Anak telah dapat menceritakan kejadian yang lebih lalu, meminta keinginan yang belum terpenuhi dan mengekspresikan keinginannya.

Beberapa anak autistik remaja yang non verbal kadang belajar komunikasi dengan cara berbeda dengan cara yang berbeda seperti isyarat, menggunakan Picture Exchange Comunication System (PECS), atau menggunakan augmentative and alternative communication (AAC, Comunication without speech oleh Anne Warrick). Cara komunikasi anak – anak ini menggunakan media gambar. Alternative lainnya dalah menggunakan papan gambar dengan suara atau keyboard ketik.

Sumber :

Joko, Yuwono. 2009. Memahami Anak Autistik. Bandung : Alfabeta

Kesulitan Komunikasi Dan Bahasa Anak Autisme

Kemampuan dalam berkomunikasi dan berbahasa merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sehari – hari. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi dan berbahasa yang baik, anak dapat memahami dan menyampaikan informasi, meminta yang disukai, menyampaikan pikiran dan menyatakan atau mengekspesikan keinginan untuk memenuhi kebutuhannya..

Komunikasi dan bahasa anak autistic sangat berbeda dari kebanyakan anak – anak seusianya. Anak – anak autistic kesulitan dalam memahami komunikasi baik verbal maupun non verbal. Sebagai contoh ketika anak autistic diminta untuk mengerjakan tugas tertentu. “ambil bola merah”. Anak autistik sulit untuk merespon tugas tersebut karena kesulitan untuk memahami konsep ambil, bola dan merah. Demikian juga ketika anak autistik menginginkan sesuatu. Mereka kesulitan dalam menyampaikan pesan kepada orang lain, misalnya ingin minum susu. Anak autistic mungkin hanya mondar – mandir atau diam saja. Hal lai yang mungkin terjadi adalah menangis dan akhirnya orang tua harus menawarkan susu.

Dua contih diatas tidak akan terjadi pada anak – anak pada umumnya (usia 4 tahun). Mereka ketika diperintah “ambil bola merah” sangat mungkin mungkin melakukan dengan mudah. Demikian juga pada anak – anak pada umumnya ingin minum susu, meskipun bendanya tidak nampak, mereka dengan mudah menujuk kea rah dimana susu biasanya berada atau disimpan.

Sumber :

Joko, Yuwono. 2009. Memahami Anak Autistik. Bandung : Alfabeta

Selasa, 23 Maret 2010

Senin, 22 Maret 2010

Pengertian Autisme

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak adalah adanya enam gangguan dalam bidang.

  1. Interaksi social.
  2. Pola bermain.
  3. Prilaku atau emosi.
  4. Komunikasi (bahasa dan bicara)
  5. Perkemangan terlamat atau tidak normal.
  6. Gangguan sensorik dan motorik.

Definisi gangguan autistic dalam DSM-IV sebagai berikut.

  1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok 1, 2 dan 3 yang meliputi paling sedikit dua pokok dari kelompok 1, paling sedikit atau satu pokok dari kelompok 2 dan paling sedikit satu pokok dari kelompok 3.
  1. Gangguan Kualitatif Dalam interaksi social yang ditunjukan oleh paling sedikit dua diantara yang brikut ini.
    1. Ciri yang paling jelas dalam penggunaan beragai prilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi social.
    2. Ketidak mampuan mengembangkan pertemanan seaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
    3. Ketidak mampuan turut merasakan kegembiraan orang lain.
    4. Kekurangmampuan dalam hubungan emosional secara timal alik dengan orang lain.
  2. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukan oleh paling sedikit salah satu dari yang erikut ini.
    1. Ketrlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahas lisan.
    2. Ciri gangguan yang jelaspada kemampuan untuk memulai tau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun percakapnnya sederhana.
    3. Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang – ulang) atau stereotif (meniru – niru).
    4. Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura – pura atau meniru orang lain.
  3. Pola minat prilaku yang teratas , repetitive, dan stereotif seperti yang ditunjukan oleh paling tidak satu dari yang erikut ini.
    1. Meliputi keasyikan dengan satu atau leih pola minat yang teratas atau sterotif yang bersifat abnormalaik dalam intensitas maupun focus.
    2. Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual.
    3. Keasyikan yang terus menerus terhadap terhadap bagian – bagian dari suatu benda.

Jika orang menggunakan definisi autisme secara eduklasionaltermasukpenderita autisme muda dan gangguan –gangguan yang terkait).

Daftar Pustaka :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Jenis “kognitif yang kaku” pada penyandang autisme

Kesulitan yang mereka hadapi dalam memaknai dan memahami apa yang mereka lihat tercermin dalam cirri utama auutisme, gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi, interaksi social dan imajinasi.

1.1 “Gangguan kualitatif” ekolalai sebagai sebuah contoh.

Ciri – cirri autisme tidak boleh dipandang secara absolute. Ekolali (pengulangan kata – kata atau kalimat, segera atau tertunda)sering dikaitkan dengan autisme. Penelitian memang menunjukan bahwa sebagian besar penyandang autisme muda yang berkemampuan verbal memiliki cirri ekolali. Orang juga dapat menemukan gejala ekolali diantara anak – anak terbelakang mental tanpa autisme. Tapi ekolali disini normal bagi usia mental mereka.

1.2 Komunikasi dan jenis komunikasi yang kaku.

Sebuah studi banding yang dilakukan oleh Menyuk dan Quiill (1985) memberikan informasi yang menarik tentang hal ini. Mereka mempelajari perkembangan makna dalam bahasa dalam pada anak – anak normal dan anak autistic. Seorang anak penyandang autisme memiliki kecendrungan untuk menggunakan suara “kursi” untuk satu kursi tertentu, dengan tinggi tertent, warna tertentu, dengan empat kaki. Dari sudut pandangnya, tidak masuk akal kalu benda yang lebih besar, dengan warna berbeda atau dengan tiga kaki diberi sebutan yang sama. Pemahaman dasarnya, berdasarkan apa yang dia lihat, terlalau terbatas utuk kemungkinan membuat generalisasi atau penyamarataan spontan karena mereka membutuhkan orang lai untuk membuat sebuah generalisasi.

Daftar Pustaka :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Autisme Dan Cacat Mental

Pada penyandang anak autis biasanya suka ditemukan adanya cacat mental. Ini bias menjadiu guncangan bagi orang tua jika diagnosa awal hanya menyebutkan “autisme” tapi pada saat yang sama tidak memberikan informasi yang diperlukan tentang berbagai cacat mental yang menyertainya.

Sebagian besar Penyandang autisme juga menderita cacat mental dalam tingkat sedang ataupun parah (60% memiliki IQ dibawah 50, sementara nilai 100 dianggap sebagai nilai rata – rata). Karenanya penting bagi para orang tuadan ahli untuk menyadari bahwa walaupun menggunakan program terbaik di dunia dengan penanganan para spesialis autisme yang sangat terlatih sekali pun, cacat mental tetap ada. Tingkat cacat mental menentukan tingkat harapan terhadap masa depan (tanpa menjadi terlalu fatalistis).

Orang yang menyandang cacat mental ringan mencapai nilai antara 52 dan 67 dalam tes IQ. Penyandag autisme dalam kelompok ini cendrung memiliki kemampuan yang paling beragam. Anak – anak autistic yang memiliki kemampuan “puncak” musical, sebagai contoh, mungkin bias antara lain menjadi penyetem piano. Bagaimanapun, karena hebatnya gangguan bericara mereka, hanya sedikit anak – anak autistik yang bisa mencapai tingkat fungsi terseut. Sebagian esar anak – anak autistik erfungsi pada tingkat keterbelakangan sedang atau parah.

Hal diatas merupakan spekulasi yang tak bersifat mutlak, ta[pi menawarkan sebuah garis besar perkemangan yang dapat digunakan seagai panduan yang realitas. Bagi para penyandang autisme, perhitungan tentang tingkat kemandiria dimasa depan seperti itu akan leih sulit karena adanya hambatan tambahan (kesulitan dalam komunikasi, pemahaman social dan imajinasi) yang menyertai autisme. Itu sebanya penting untuk dimengerti bagaimana kominasi gangguan – gangguan yang ada erdampak pada anak – anak penyandang autisme.

Sumber :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Eksperimen Kognitif Dengan Anak – Anak Penyandang Autisme

Mereka yang ingin menolong penyandang autisme perlu mengerti bahwa bukan hanya perkembangan mereka yang lebih lambat,tetapi juga perkembangannya “tidak biasa” dan adagangguan “kualitatif” lain.

Para peneliti inggris, Hermelin dan O’ Connor, pertama kali mempublikasikan penemuan penting mereka pada tahun 1970 dalam buku psychological esperimentswith autistic children. Penelitian mereka sederhana dan mengaggumkan. Mereka meminta tiga kelompok anak – anak dengan usia mental yang sama (anak – anak penyandang autisme, anak – anak biasa, dan anak – anak cacat mental tanpa autisme)untuk mengerjakan beberapa tugas. Mereka memutuskan untuk memilih anak – anak autistic tanpa cacat mental karena ini memberi m,ereka kesempatan yang terbaik untuk mendapatkan suatu gambaran autisme murni, yaitu, yang tidak disulitkan oleh suatu keterbelakangan mental yang terkait. Secara normal orang berharap bahea dalam eksperimen seperti ini anak – anak pada usia mental yang sama akan memiliki tingkat pencapaian yang sama. Kenyataanya mereka mendapati bahwa anak – anak penyandang autisme (meskipun usia mental mereka sama) benar – benar tidak dapat melakukan beberapa tugas yang tidak dapat dilakukan oleh kelompok lain. Ini menunjukan bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang khas pada autisme. Karena itu mereka membuat hipotesis dan dapat membangun eksperiment – eksperiment yang serupa. Jika eksperiment menguatkan hipotesis awal, ini dapat dianggap sebagai pembuktian ilmiah. ( Filsuf ilmiah Karl Popper mengatakan bahwa kemanusiaan dapat dikatakan “iliah” jika membentuk asumsi – asumsi yang dapat dibuktikan atau disangkal melalai eksperiment. Pendekatan terhadap psikoanalitik terhadap autisme tidak memiliki status ilmiah tersebut, ini adalah sebuah teori yang satu sama lain dipercaya atau tidak dipercaya – tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh eksperimen ilmiah. Teori ini menarik tapi mungkin tidak ilmiah).

Sumber :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Memahami Ungkapan Emosional Anak Autisme

Dalam cerita “mekanis” dan “prilaku” anak – anak penyandang autisme tampak tidak memiliki kesulitan khusus dibandingkan dengan anak – anak lain dengan usia mental yang sama. Cerita mekanis dan prilaku dapat dipahami tanpa mengacu pada keaadaan mental. Ketika sifat pikiran (kejutan) harus dihibungkan pada suatu karakter atau tokoh, seperti dalam cerita mentalis anak – anak autisme menghalami kesulitan besar. Anak – anak biasa dan mereka yang menyandang down syndrome dengan usia mental yang lebih rendah dapat melakukannya dengan lebih baik daripada anak – anak penyandang autisme. Inilah yang ditemukan oleh para peneliti, tapi temuan ini juga dapat diartikan dalam pemahaman yang lebih luas.

“Kesulitan menambahkan makna pada persepsi” mengungkapkan sesuatu yang penting tentang “perbedaan jenis kognitif” ini, dimana kita harus berhitung jika ingin membantu penyandang autisme. Jenis kognitif yang berbeda ini dapat ditemui dalam cirri – cirri utama pada definisi ilmiah tentang autisme, yaitu gangguan kualitatif dan komunikasi, interaksi social dan prilaku stereotip dan minat yang terbatas (yang sering kali merupakan akibat gangguan kualitatif dalam perkembangan “imajinasi”).

Sumber :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Disimbolisme Autis

Para penyandang autisme sama seperti penyandang apasia (kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata – kata karena penyakit otak), “disimbolik” berkaitan dengan apa yang mereka dengar , mereka memiliki kesulitan khusus dalam menganalisa makna informasi auditori abstrak.

Anak – anak yang mengalami dispasia perkembangan bawaan sejak lahir tidak terganngu secara sfesifik dalam analisa informasi visual abstrak mereka yang merupakan bagian dari prilaku social kita. Anak – anak penyandang autisme pada sisi lain memiliki kesulitan tidak hanya dalam “ mendengar melampaui” informasi yang harfiah (dan disini kita dapat membantu mereka dengan dukungan visual). Tapi juga dalam “ melihat melampai” informasi yang diberikan. Mereka juga disimbolik secara visual dan kita harus bertanya pada diri kita apakah kita sudah cukup berusaha pada tingkatan ini untuk beradaptasi dengan kecacatan mereka.

Jika kita menerima bahwa penyandang autisme merupakan pelajar visual, mengapa kita tidak menganggap pendekatan autiosme hanyalah suatu pendekatan dengan dukungan visual ketimbang “pendekatan tersetruktur”.

Alat Bantu visual segera membuatnya menjadi jelas bahwa alatnya ada untuk menolong si ana. Ini adalah kata yang lebih bersifat “social” bagi sector “social”. Para ahli bahasa memilki istilah yang bagus bagi komunikasi dengan alaty abntu visual, yaitu augmentative learning atau komunikasi kegiatan belajar.

Sumber :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju

2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya

3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat

4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal

2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris

3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip

4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya

2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna

3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda.

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegeni dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatric, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

Daftar Pustaka :

Theo, Peeters. 2004. Panduan Autisme. Jakarta : Dian Rakyat

Gejala Autisme

Terkadang anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.

  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Sumber.

http://id.wikipedia.org

Implikasi Diagnosa Autisme

Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning.

Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Sumber :

http://id.wikipedia.org

Terapi Bagi Penyandang Autisme

Banayak dari para orang tua yang memiliki anak penyandang autis berharap anaknya bias sembuh, kecemasan akan anaknnya yang memiliki kelainan dari anak – anak lain seusianya.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Sumber :

http://id.wikipedia.org